Setiap generasi tergantung pada ruang lingkup zamannya. Setiap zaman melahirkan corak karakter yang berbeda-beda. Generasi Z dilihat dari urutan abjad romawi adalah penanda generasi mutakhir yang membawa bentuk keunikan yang khas. Seiring bergulirnya zaman, muncul nama baru generasi alpha. Strauss dan Howe mengatakan bahwa perubahan generasi terjadi di tengah masyarakat sekitar setiap 20 tahun. Sedangkan istilah generasi alpha muncul bermula dari survei yang dilakukan oleh McCrindle, seorang analisis sosial dan demografi.
Mengapa disebut alpha, karena generasi sebelumnya sudah menggunakan huruf akhir abjad romawi, sehingga penamaan generasi berikutnya ditentukan dengan menggunakan pola abjad yunani yang diawali dengan alpha. Perubahan generasi dari setiap anak zaman tidak lepas dari pengaruh dominan faktor budaya dan perkembangan teknologi. Dinamika itu terjadi dari satu generasi ke generasi. Sekedar contoh, generasi yang lahir sekitar tahun 40-an sampai 60-an (generasi baby boomer) lebih cenderung memiliki kestabilan mental sebagai corak karakternya.
Generasi 60-an pada masa itu, cenderung lebih berpikir matang dalam setiap memutuskan setiap masalah yang dihadapi. Kestabilan menjadi penanda kedewasaan dan kematangan emosionalitas mereka. Orang tua dahulu banyak mengedepankan kestabilan dalam segala aspek kehidupannya. Suatu hal yang sangat penting bahwa perubahan generasi membawa dampak moral secara signifikan. Aspek moralitas ini yang harus menjadi perhatian khusus, agar setiap perubahan generasi memiliki sandaran moral yang kuat.
Demarkasi Antargenerasi
Generasi Z yang notabene lahir pada tahun 1997-2012, maka saat ini mereka telah berusia sekitar 12-17 tahun. Pada masanya, mereka mengalami lompatan perubahan yang sangat dahsyat. Teknologi menjadi bagian dari “nafas gerak” mereka tanpa ada sekat sedikitpun. Mereka berada dalam ruang lingkup zaman yang tidak dapat dipisahkan dari derap kemajuan teknologi. Apapun tugas-tugas yang harus dituntaskan selalu menggantungkan pada genggaman teknologi sebagai perangkat penunjangnya.
Bagaimana dengan generasi alpha yang lahir tahun 2013-2025. Mereka saat ini telah berusia sekitar 10-11 tahun. Bagaimana mengilustrasikan kedekatan mereka dengan teknologi. Sungguh tidak dapat dibayangkan, budaya mereka berjarak secara diametral dengan generasi sebelumnya yang lahir pada tahun 80-an yang disebut generasi X. Saat ini mereka menjadi orang tua generasi alpha. Jarak usia antara orang tua dan generasi alpha berarti sekitar 25-30 tahun.
Lebih jauh lagi, garis demarkasinya–jika generasi alpha disandingkan dengan generasi tahun 60-an–sangat jauh, sehingga ada tantangan moral begitu rupa yang harus dialami oleh orang tua tergolong generasi X. Disadari atau tidak, generasi alpha menjadi bagian dari era digital, di mana mereka disebut juga sebagai screenager, karena pertumbuhannya terus-menerus diliputi oleh layar gadget. Akibatnya, mereka sulit menjaga keseimbangan mentalnya, menimbang resiko yang meningkatkan kemampuan keterampilan afektifnya.
Preferensi Moral dan Adiksi Digital
Kehidupan generasi alpha sangat dipengaruhi oleh media sosial dan digitalisasi teknologi. Keterhubungan mereka dengan teman-temannya, jauh melampaui batas ruang dan waktu, sosial dan demografi. Bahkan mereka terkadang terlampau hiperkonektif yang berakibat pada kerapuhan mental dan bahkan mengganggu masa depan dunia karir mereka. Kekhawatiran pada kerusakan mental generasi alpha sangat tinggi, dan ini perlu langkah preventif sebagai upaya solusi lebih dini.
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan, antara lain; pertama, memberi ruang eksplorasi diri. Dalam hal ini, orang tua harus menyadari tentang kebutuhan generasi alpha terhadap literasi digital. Anak dengan serta merta tidak bisa dibuat berjarak jauh dengan teknologi. Pengendalian tetap penting, tetapi harus dengan cara memberi ruang eksplorasi yang dapat memacu diri mereka dalam menghadapi tantangan baru. Dalam keberlangsungan belajar, mereka tidak dapat dikungkung atau dibatasi pada pesan-pesan tekstual, melainkan harus dibiarkan untuk menemukan ilmu dan pengalaman di luar ruang kelas secara mandiri.
Kedua, Membuka ruang potensi kecerdasan ganda. Orang tua harus mampu membaca peluang dalam pengembangan kecerdasan anak generasi alpha. Kecerdasan yang dikembangkan tidak hanya aspek numerasi dan literasi. Perlu juga ditumbuhkan kecerdasan ganda, seperti memprioritaskan keterampilan, supaya anak mampu membangun pola pikir pengembangan dan pemberdayaan diri. Di samping itu, orang tua harus melatih anak menghadapi perilaku dirinya sendiri dan orang lain, sehingga dapat menumbuhkan kecerdasan dan sikap sosial.
Ketiga, peran keteladanan orang tua. Anak generasi alpha yang cenderung terpapar atau terdistraksi media-media digital, maka orang tua perlu mengontrol ruang konten digital yang sering diakses oleh anak. Keteladanan moral dan daya kontrol orang tua memiliki peran penting. Mulai dari menjaga anak agar tidak mudah terkena candu digital, terutama dari konten-konten negatif yang relatif membahayakan. Perlu juga mendampingi dan menavigasi anak dari konten yang mengancam perkembangan mental dan moralitasnya.
Disinilah peran orang tua menjadi faktor utama dalam meminimalisir adiksi digital yang condong pada hal negatif. Penanaman prinsip-prinsip moral sejak usia dini menjadi tidak terbantahkan. Orang tua harus meneguhkan diri dalam memberikan preferensi moral melalui pendekatan-pendekatan persuasif. Pembiasaan anak untuk mudah terpanggil pada nilai ajaran Islam harus dikondisikan secara intensif, dan keteladanan orangtua di rumah harus dominan.
Muhammad Zaini, Jl. Ghazali TR 001 RW 004, Jungcangcang, Pamekasan.
Tulisan ini dimuat di media cetak NAFIRI, majalah SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta, edisi ke-44.
Komentar
Posting Komentar